Selasa, 22 Februari 2011

Sikap (Apatism) Pemerintah Terhadap Pesantren

0 komentar
Cita-cita luhur para pendiri bangsa untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan ternyata jauh dari harapan. Baik dari bidang politik, ekonomi maupun bidang pendidikan.  Hampir di semua lini kehidupan ini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Yang ada hanyalah bangsa ini sudah lepas dari kolonialisme bangsa Belanda, Jepang, dan Portugal. Artinya, secara fisik kita sudah merdeka, namun secara mental kita masih dalam kendali bangsa lain. Salah satunya adalah di bidang pendidikan.
Amanat pendidikan yang sudah ditetapkan dalam pembukaan UUD ‘45, alinea IV, sejak bangsa ini menyatakan kemerdekaannya, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah sebagai landasan bahwa bangsa ini harus lepas dari kebodohan dan kejumudan .Hal ini juga menunjukkan bahwa para pendiri bangsa ini sudah paham betul bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam membangun sebuah bangsa.
Peradaban dan identitas suatu bangsa dikenal karena kemajuan di bidang pendidikannya. Begitu juga sebaliknya, kerusakan suatu bangsa disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Apalagi pendidikan itu terfokus pada aspek kognitif semata, sangat minim aspek afektifnya.
Melihat pentingnya pendidikan ini, maka jauh sebelum bangsa ini merdeka, para founding father bangsa terutama dari kalangan ulama telah membangun sebuah lembaga pendidikan yang disebut dengan pesantren. Dimana pada saat itu tidak ada lembaga pendidikan kecuali pesantren. Hal ini juga dikarenakan penduduk Indonesia pada saat itu adalah mayoritas beragama Islam. Dan lebih dari itu, pesantren juga merupakan sebuah lembaga yang paling efektif dalam membangun kecerdasan dan moralitas masyarakat. Walaupun sistem pendidikannya pada saat itu masih bersifat tradisional. Sistem pendidikannya yang unik dan dianggap lebih efektif dalam membina dan mendidik santri yang militan dan bermoral, telah membuat Belanda merasa terusik. Karena out put dari pesantren ini banyak melahirkan pemuda-pemuda yang siap berjuang (berjihad) melawan penjajah. Hal ini bisa kita lihat dalam sejarah seperti tokoh-tokoh yang brilian dan menjadi pionir dalam perjuangan melawan penjajah, seperti  Haji Agus Salim, H.O. S. Cokroaminoto, Budi Utomo, Moh. Natsir, Cut Nyak Din, Sultan Hasanuddin, Jenderal Sudirman dan masih banyak lagi mujahi-mujahid yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Mereka-mereka ini adalah hasil dari penggemblengan pesantren. Tentu, ini sangat mengganggu dan membuat gusar para penjajah. Maka dibuatlah sistem pendidikan tandingan ala Belanda yakni upaya untuk peliberalisasian pendidikan yang hanya mengajarkan persoalan yang sifatnya kognitif. Usaha ini untuk melemahkan semangat juang para pemuda dan menjauhkan pemuda dari nilai moralitas serta memasukkan  pemikiran-pemikiran sekuler dalam mind set  pemuda.
Sistem pendidikan sekuler yang diwariskan  kolonialis ternyata sangat mempengaruhi sebagian tokoh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah seorang tokoh yang termasuk founding father  bangsa yaitu Soekarno. Bisa kita lihat dalam sejarah bahwa Soekarno dan kawan-kawannya yang berideologi nasionalis-sekuler menolak rumusan Piagam Jakarta yang telah disepakati panitia sembilan yang terdiri dari tokoh Islam dan dua tokoh Kristen yang berisi “menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Dan juga beliau melarang partai-partai yang berasaskan Islam seperti Masyumi dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa ketidaksenangan pemerintah terhadap umat Islam sudah tampak dari dulu. Hal ini bukan berarti penulis tidak menghargai dan perjuangan beliau-beliau, akan tetapi penulis hanya mengkritisi pemikiran mereka yang sekuler.
Begitu pula di bidang pendidikan, ternyata perhatian pemerintah dari dulu bahkan sampai sekarang terhadap lembaga pendidikan pesantren sangat kurang dibanding lembaga pendidikan umum. Pemerintah lebih menfokuskan diri pada kemajuan lembaga-lembaga pendidikan umum. Dari alokasi anggaran pendidikan, pemerintah lebih mengutamakan sekolah-sekolah umum. Dan juga legalitas ijazah dari pesantren sampai sekarang belum diakui. Konsekwensinya adalah para siswa (santri) yang lulus dari pesantren tidak diterima di Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi Negeri. Kalaupun bisa, itu pun lewat pendekatan dan lobi yang intens.
Independensi lembaga pendidikan pesanteren, bukan berarti memjadikan pemerintah  membiarkan dan menyerahkan urusan sepenuhnya kepada pihak pengelola pesantren, akan tetapi justru pemerintah harus menghargai dan mengakui keberadaan pesantren tersebut. Paling tidak, alokasi anggaran dan pengakuan legalitas ijazah pesantren direalisasikan, sehingga para siswa (santri) tidak lagi mengikuti persamaan dengan sekolah-sekolah umum. Karena hal ini sangat mempengaruhi  kurikulum lokal pesantren yang sudah paten. Di satu sisi, siswa dituntut untuk menyelesaikan materi kepesantrenan, tapi sisi lain, santri dipaksa untuk menguasai materi pelajaran yang ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah hanya sebagai fasilitator dan penyokong, bukan sebagai penentu kebijakan. Urusan kurikulum biarkan interen lembaga yang menetapkan. Yang dibutuhkan adalah mengakui legalitas ijasah tersebut.
Ada satu catatan yang penting yang perlu kita renungkan bahwa pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Pesantren merupakan basis para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Dan juga pesantren merupakan sistem yang integral dalam pembinaan kecerdasaan intelektual, moralitas dan spiritual. Apalagi sistem pendidikan yang diterapkan adalah full day education. Tiada hari tanpa belajar. Berbeda dengan sekolah-sekolah umum. Pada umumnya materi yang diberikan lebih pada peningkatan kecerdasan intelektual siswa dengan waktu yang sangat terbatas. keistimewaan sistem pendidikan pesantren, mestinya membyat pemerintah menjadi peduli dan  mengadopsi sistem ini, bukan malah mengadopsi sistem sekuler dan apatis. karena pesantren bisa menjamin peserta didik memiliki kemampuan nalar, moral dan spiritual.

Leave a Reply