Minggu, 20 Februari 2011

Kitab Kuning Dan Tradisi Pesantren

0 komentar

Pada umumnya, pesantren dipandang sebaai sebuah sub-kultur yang menegmabangkan pola kehidupa yang unuk menurut ‘kaca mata’ umum, modern. disamping faktor kepemimpinan seorang kiai, kitab kuning merupakan ffaktor pendukung yang penting yang menjadi karakteristik sub-kultur tersebut. selain sebagai pedoman keberagaman, kitab kuning juga dijiadikan pedoman kalangan pesantren sebagai referensi nilai universal dalam mensikapi segala tantangan kehidupan. ketika kitab kuning digunakan dari generasi ke generasi sebagai sumber bacaan uutama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas, maka sebuah proses pembentukan dan pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung.

Yang menarik adalah mengapa harus kitab kuning yang dijadikan pedoman dalam memberikan sebuah kebijakan? dari generasi ke generasi ?.. dan bagiamnakah pesantren memberlakukan kitab kuning dalam pendidikannya? pengamatan mngenai hal ini mungkin akan menolong kita untuk menjawab sebuah pertanyaan fundamental; bukankah semestinya al-qur’an dan al-hadits yang menjadi referensi mereka?..

Alasan pemilihan kitab kuning munkin dapat dirumuskan, antara lain, dengan mempertimbangkan perkembangan tradisi intelektual islam nusantara. sejak periode paling didi, bersamaan dengan proses internasionalisasi – yang berarti arabisasi—dokumentasi mengenai ajaran-ajaran isalm selalu dilakukan dengan bahsa arab, paling tidak mengguanakan huruf dan abjad arab. arabisasi semacam itu tidak lain menempatkan ‘keislaman’ di indonesia selalu dalam konteks universal. hal ini mencapai momentum ketika pesantren dalam tekanan kekuatan asing, dan ia melakukan gerakan defensif non kooperatif. pemasok utama (main supplier) nilai dan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam situasi seperti itu adalah kitab kuning yang sudah beredar luas  di lingkunagn mereka. kalaupun ada supply baru –dan ini sangant banyak ketika alumni timur tengah kembali ke indonesia—prosesnya terus tetap harus mempertimbangkan standar kitab kuning yang sudah menyebar itu, krcuali setelah terbukanya kembali hubungan pesantren demngan dunia’umum’ sejak kira-kira tiga dasawarsa yang lalu.

Di kalangan pesantren memng diakui adanya ‘cara lain’ untuk memperoleh ilmu, jadi tidak hanya melalui metode transmisi seperti itu. namun demikiann ‘cara lain’ yang dimaksud bukanlah cara yang lebih rasional (nalar), melainkan cara yang lebih bersif ghoib dalam proses hubungan langsung ‘manusi’ dengan ‘Yang Maha Berilmu’, identik dengan proses pewahyuan. Kalangan pesantren menyebutnya dengan ilmu ladunni.

Dengan demikian, bagi kalangan pesantre, ilmu dipandang seabagai sesuatu yang suci, scred. Tidak boleh sepekulatif, akal-akalan. Puncak dari pandangan ini, ilmu dianggap sebagai wahyu tersendiri, paling tidak, ia hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya disandarkan pada Nabi, ilmu juga diyakini hanya bisa dikuasai oleh para ilmuwan, ulama. Pandangan mereka yang sepeti itu nampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap hadits; al-‘ulama warosat al-anbiya. Dengan pandang yang sedemikian ketat, tidak dinamis, maka pengajaran dan pendidikan yang berlangsung merupakan pengulang-ulangan sebatas ‘kata-kata’ ulama.  Ada dua konsekwensi yang paling terkait dengan hal ini,
a.      Keseragaman (homogenitas) akan dengan mudah menjadi ciri khas yang sangat mencolok. Jika terjadi sebuah perbedaan, maka perbedaan itu hampir dapat dipastikan hanya dalam pengungkapan (ibarat) nya saja.
b.      Kitab kuning sebagai karya ulama (terdahulu) yang memberikan keterangan langsung terhadap kata-kata wahyu adalah netral, seeang Kiai yang memebrikan keterangan kitab tersebut adlah subordinat, atau sekedar alat untuknya (tidak berhak mengevaluasi).

Dengan demikian, kita melihat ada dua hal mengenai posisi dan signifikasi kitab kuning di pesantren :
1.      Kebenaran kitab kuning bagi kalngan pesantren referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa kitab kuning ditulis sejak jaman dahulu dan  terus dipakai dari masa ke masa menunjukitab kuningan bahwa kitab kuning memang sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang begitu panjang. Kitab kuning dipandang sebagai pemasok teori-teori yang dirumuskan oleh ulama-ulama berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Kepercayaan bahwa kedua kitab tersebut merupakan wahyu dari Allah menimbulkitab kuningan kesan bahwa tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara yang aman dalam memahami dua kitab tersebut adalah dengan mempelajarai dan mengikuti kitab kuning. Sebab, kandunag kitab kuning merupakan penjelasan yang siap pakai, instan, dan rumusan ketentuan hukum, yang bersumber dari al-qur’an dan al-hadits, yang dipersiapkan mujtahid dalam segala bidang.
2.      Kitab kuning penting bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai sejarah al-qur’an dan al-hadits. Untuk menjadikan pesantnren sebagai pusat kajian keislaman, maka pemeliharaan bahkan pengayaan kitab kuning harus harus tetap menjadi ciri khasnya, ciri utamanya. Termasuk dalam proses pengayaan itu adalah penanganan kitab kuning dalam lapangan dan masa yang luas, termasuk yang lahir belakangan, al-kutub al-‘ashiriyyah. Hanya dengan penguasaan kitab kuning seperti itulah, kresai keislaman yang serius di Indonesia tidak akan berhenti.

Wallohu a’lam.

Leave a Reply