Sabtu, 19 Februari 2011

Kritik Modernisasi Pendidikan

0 komentar
 
Era modern menjadi era yang sangat diimpikan kalangat masyarakat luas karena modern identik dengan kemajuan. Namun sayangnya tolok ukur kemajuan hanya dinilai pada hal-hal tertentu, misalnya kemajuan dibidang sains dan teknologi. Masyarkat modern adalah  masyarakat yang menghargai sains dan teknologi, pendidikan modern adalah pendidikan yang penuh dengan infrastuktur dan aktifitas berbasis sains dan teknologi. Bagaimana dengan pesnatren ?.... Padahal pesantren kurang respec terhadap sains dan teknologi, apakah ia tergolong tidak modern??.... Sudahbarang tentu, pesantren tidak modern jika tolok ukurnya adalah ‘penghargaan atas sains dan teknologi’. Padah penghargaan atas dua hal tersebut telah melahrkan kehancuran di berbagai bidang, termasuk pendidikan.

Ketika sains dan teknologi menjadi “tuhan” baru, maka seluruh energi masyarakat tersedot untuk menaggapi tujuan tersebut, termasuk dibidang pendidikan. Kebijakan pendidikan telah digiring kearah itu. Kemunculan berbagai nomenklatur institusi pendidikan seperti madrasah modern, madrsah unggulan, madrasah terpadu dan lain sebagainya adalah bagian dari reponsibilitas lembaga pendidikan agama atas ‘tuhan’ sains dan teknologi. Semangat mengejar saintek ini juga mewarnai UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Nomenklatur baru lembaga pendidikan seperti sekolah berstandar nasional (SSI) dan berstandar internasional (SBI) adlah salahsatu konsekuensi dari undang-undang tersebut. Sementara pendidikan yang tidak bernuansa sains dan teknologi diabaikan. Tentu kondisi demikian sangat menyedihkan. Seperti pengurangan jam tatap muka untuk pelajaran bermuatan agama Islam yang hanya dialokasikan sebanyak 2 jam (meski disebut minimal). Madrasah mau tidak mau hharus mengikuti mainstream tersebut jika ingin disebut lembaga pendidikan favorit. Sehingga urusan ke”madrasahan” menjadi terkesampingkan. Bahkan definisi madrasah sendiri mengalami reduksi yakni menjadi sekolah umum yang bercirikan ke-agamaan.

Sebagai kelanjutan regulasi dari sebuah peraturan undang-undang adalah adanya Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (PM). Kemunculan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan semakin menuntut lembaga pendidikan di Indonesai untuk lebih modern, dengan standar yang lebih bersifat “materialism”. Dengan katalain lembaga pendidikan yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan -seperti kelengkapan infrastruktur- akan terancam gulung tikar. Secara perlahan lembaga pendidikan Islam yang sebagian besar adalah hasil kresai yang kental nilai lokalitasnya akan tergusur dan tergantikan oleh konsep dari “luar”. Pemerintah telah menjadi agen penerjemah modernism, yang merupakan salahsatu produk kapitalisme. Padah untuk belajar, infrastruktur tidak bernilai mutlak.

Di negara kita,penyelenggara pendidikan  justru jauh dari konsep bertaraf internasional tersebut. Karena lebih mengarah kepada terpenuhinnya perlengkapan yang mewah dan megah. Sungguh ironis memang..!?..... Hal yang sama juga terjadi di beberapa madrasah dan sekolah yang infrastrukturnya lebih modern katimbang SDM-nya, sehingga perlengkapan yang modern tersebut justru menjadi barang antik karena dianggap “barang keramat” dan otomatis tidak temanfaatkan secara baik, bahkan menjadi rongsokan karena rusak.

Wallohua’lam………………………….

Leave a Reply