Jumat, 18 Maret 2011

SEPUTAR BID'AH PART 2

0 komentar

Seputar Hadits Yang Menerangkan Bid’ah
PART 2


Seringkali dalam perdebatan mengenai bid’ah selalu menggunakan sebuah hadits untuk menguatkan argumen arti bid’ah itu sendiri. Lantas, bagaimana kita memahami hadits :
إياكم ومُحْدَثَاتِ الأمورِ فإنّ كلَّ مُحْدَثَةٍ بدعةٌ وكلُّ بدعةٍ ضلالةٌ
“ Berhati – hatilah kalian terhadap Muhdatsat ( hal – hal yang baru ) karena sesungguhnya semua muhdatsat itu bidah , dan semua bidah adalah sesat “ (HR Abu Dâwud, Ahmad, Ibn Mâjah )
Hadits di atas mengindikasikan bahwa semua bid’ah adalah dlalâlah (sesat) ?

Hadits diatas memang benar tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa memutuskan bahwa semua bidah adalah sesat. Untuk dapat memahaminya dengan benar kita harus mengkaji semua hadits yang berhubungan dengannya. Sehingga kita tidak terjerumus pada penafsiran yang salah. Di bawah ini akan coba kami jelaskan ma’na hadits diatas, semoga Allah melapangkan hati kita .

    Penjelasan Pertama 
Untuk dapat memahami sebuah ayat atau hadits dengan benar kita harus mempelajari sebab-sebab turunnya ( Asbabul Al – Nuzul ) ayat atau hadits tersebut .
Sesungguhnya tidak semua ayat atau hadits dapat diartikan secara langsung sesuai dengan makna lahiriyahnya dan tidak mau menerima penafsiran. Sebab dengan demikian kita akan kebingungan sendiri .
Hadits   وكل بدعة ضلالة  tersebut merupakan sebagian hadits yang membutuhkan penafsiran . Jika kata   وكل بدعة (semua bid’ah) tidak ditafsirkan , maka apa yang terjadi  ? kita semua akan masuk neraka . Kenapa demikian ? Sebab kehidupan kita tidak lepas dari perbuatan bid’ah, seperti cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana trasportasi (mobil, motor, pesawat), pengeras suara, lantai masjid yang terbuat dari marmer, dan lain-lainnya adalah hal baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat beliau.
        Jika hadits  كل بدعة  itu diartikan secara lahiriyah dan tidak ditafsiri maka tentunya kita akan mengatakan bahwa semua itu adalah bid’ah dan bagi pelakunya akan masuk neraka, Namun tak satupun ulama yang mengatakan bahwa naik motor, naik mobil, pesawat, lantai Masjid dengan tegel/marmer itu diharamkan. Para ulama berpendapat bahwa meskipun hal – hal tersebut termasuk hal baru ( tidak ada pada zaman rosul ), namun semua itu termasuk perkara yang diperbolehkan ( Mubah ).
    Penjelasan kedua
Hadits وكل بدعة ضلالة  merupakan hadits yang bersifat umum (Am).
Dalam hadits seperti ini biasanya terdapat kata atau kalimat yang tidak disertakan, tidak diucapkan tetapi telah dipahami oleh pembaca atau pendengarnya.
 Hadits  وكل بدعة ضلالة  mirip dengan hadits dibawah ini :

1.     لايؤمنُ أحدُكم حتى يحب َّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه

“Tidak beriman salah seorang diantara kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri sendiri.” (HR. Bukhori)

2.     ليس مِنَّا من لم يَتَغَنَّ بالقرآن

“Bukan dari golongan kami seseorang yang tidak membaca Al-Quran dengan suara yang baik (merdu).” (HR. Bukhiri, Abu Dawud dan Ahmad)
Jika kata  لايؤمنُ  dan ليس مِنَّا  ( Bukan dari golongan kami) dalam beberapa hadits di atas tidak dijelaskan dan ditafsirkan, lalu bagaimana nilai bacaan Al-Quran kita ? Bagaimana kedudukan kita dalam Islam ?
Bukankah Nabi SAW mengatakan :
 Bukan dari golongan kami
Jika tidak berada dalam golongan Nabi SAW dan para sahabatnya lalu kita berada dalam kelompok (golongan) siapa ?
   Bukankah orang yang membaca Al -Qur’an meskipun tanpa dilagukan itu bernilai pahala ?
Oleh karena itulah, hadits di atas dan sejenisnya perlu dan harus ditafsirkan dengan hadits lain sehingga kita tidak salah memahami dawuh Rasul SAW.
Para Ulama’ menyatakan bahwa kata    لايؤمنُ'  tidak” dalam hadits di atas artinya adalah “tidak sempurna.
Dalam hadits ini ada kata “sempurna”  yang tidak diucapkan oleh Rasul karena telah difahami para sahabat.
Sedangkan kata ليس مِنَّا " Bukan dari golongan kami”  artinya “Bukan dari golongan terbaik kami”.
Para ulama’ menjelaskan bahwa dalam hadits   وكل بدعة ضلالة juga terdapat kalimah yang tidak diucapkan oleh Nabi SAW namun telah dipahami oleh para sahabat. Kalimat yang dibuang itu terletak setelah kata “ Bid’atin ” dan bunyinya adalah: “Yang bertentangan dengan syari’at”.

Dengan demikian arti komplit hadits diatas adalah:
“ Semua  bid’ah yang bertentangan dengan syari’at adalah sesat dan semua yang  sesat tempatnya adalah dineraka”.
    Terbukti Sayyidina Umar dalam masalah tarawih menyatakan نعمت البدعة هذه .
Ini menunjukkan Beliau memahami maksud bid’ah di atas sebagaiamana yang dikemukakan para ulama.[1]
    Penjelasan Ketiga
Menurut Imam Nawawi hadits tersebut  (وكلُّ بدعةٍ ضلالةٌ ) ditakhshîsh dengan hadits lain sehingga hanya berlaku untuk bid’ah-bid’ah yang dlalalah (Sesat ) .
Hadits yang mentahsis adalah :

3.          مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ ( رواه مسلم )

Hal ini juga dikuatkan oleh ucapan Sayyidina Umar sebagaimana di atas. [2]
    Penjelasan Keempat
Lafal كل yang ada dalam hadits tersebut bermakna بعض ( sebagian ). Penggunaan كل dengan arti بعض seperti ini juga terjadi dalam al-Quran misalnya : [3]

4.     وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ  ( الأنبياء : 30 )

Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
( QS Al-Mu’minun : 30 )
Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu namun tidak berarti segala sesuatu diciptakan dari air. Terbukti ada ayat :

5.      وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍ   (الرحمن : 5 )

Dan dia menciptakan jin dari nyala api ( QS ar-Rahmân : 15 ).
Dengan demikian, كل dalam hadits di atas juga harus diartikan بعض agar tidak bertentangan dengan hadits lain semisal:
   من ابتدع بدعةً ضلالةً  لا تُرضِي اللهَ ورسولَه كان عليه مِثْلُ آثامِ مَن عَمِل بها لا ينقص من أوزارهم شيئٌ (رواه الترمذي)
Barang siapa memperbuat bid’ah dlalâlah, bid’ah yang tidak membuat ridla Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang melakukan bid’ah tersebut (setelahnya).Tidak kurang sedikitpun dari dosa mereka. (HR at-Tirmidzai, Ibn Mâjah).
    
          Hadits di atas secara tegas menyatakan bahwa ada pemilahan bid’ah. Terbukti Beliau Rasulullah SAW menggunakan kata بدعةً ضلالةً  yang secara tidak langsung menyatakan ada bid’ah yang tidak dlalalah. Umpama semua bid’ah sesat, tentunya Beliau SAW tidak akan menambah kata ضلالة dalam hadits di atas.


[1] Novel bin Muhammad Alaydrus, Mana Dalilnya Seputar Permasalahan Ziarah Kubur, Tawassul, Tahlil, (Surakarta : Taman Ilmu), cet. ke-III, Maret 2005, hal.17-20
[2] Yahyâ bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Muslim, (Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah), 1995, vol.III, hal.461
[3] Ibid, Muhyiddin Abdusshamad, Fiqh Tradisionalis, ( Khalista : Surabaya ), cet.ke-3, 2005, hal. 29-31.

Leave a Reply