Senin, 16 Mei 2011

Kekhawatiran Barat Terhadap Islam

0 komentar
Setelah mengobrak-abrik teologi kristen sebagai agama maju pada abad pertengahan, pengetahuan Barat kembali mencari korban untuk menjadikan dirinya sebagai momok. kali ini, Sebagaimana diakui Samuel P Huntington, Islam diyakini sebagai suatu kekuatan yang akan menggoncangkan power yang dimiliki Barat dan harus menjadi objek penetrasi. Berbagai diskusi dan paham yang beragendakan ancaman Islam terhadap budaya dan kemajuan kerap diekspos sebagai metode menolak konsep-konsep kemanusian yang dibawa Islam.Terma benturan kebudayaan (clash of civilizations) menjadi sangat populer pada masa masa setelahnya, dan ini pula yang sering menjadi patron dalam kebijakan politik internasional.
Pola pikir Huntingtong yang selalu mencoba membenturkan Barat dan Islam membuat ketegangan antara Barat yang disimbolkan sebagai masyarakat maju dan Islam yang disebut sebagai teroris dan berpikiran sempit semakin mengeruhkan upaya yang dibangung Khatami ketika menjabat presiden Iran tahun 1998 yang coba mengupayakan dialog Islam- Barat, hal ini semakin meruncing pasca kejadian WTC 11 september 2001.
Referensi Barat klasik maupun modern  banyak pula yang menceritakan ketakutan mereka terhadap perkembangan Islam. Sayangnya, metode yang mereka pakai cenderung bersifat memojokkan Islam. Buku John L. Esposito, The Islamic Threat, Myth or Reality, (New York: Oxford University Press, 1993), menggambarkan fenomena ketakutan itu di kalangan masyarakat Barat. Dalam sejarahnya yang panjang, mitos tentang ancaman Islam di kalangan masyarakat Kristen juga sudah digambarkan dengan baik oleh Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image (Oxford:Oneworld Publications, 1997). David R. Blank, dalam sebuah tulisannya berjudul “Western Views of Islam in the Premodern Period” mencatat bahwa meskipun secara keseluruhan tidak ada bukti kuat antara sikap “prejudis” terhadap Islam antara zaman pra-modern dengan zaman modern, namun ada garis-garis pemikiran tertentu yang terus berlanjut, yang mencitrakan Islam sebagai “kafir raksasa” (gigantic heresy), seperti garis pemikiran Peter the Vunerable – Raymund Lull-Martin Luther—Samuel Zwemmer.  Zwemmer adalah misionaris Kristen terkenal. Martin Luther, sebagaimana banyak pendeta Kristen di zaman itu, percaya bahwa kaum Muslim (yang disebut dengan istilah “Turks”) adalah masyarakat yang dikutuk oleh Tuhan (The Turks are the people of the wrath of God). Kita masih ingat, bahwa Paus Urbanus II, ketika memprovokasi Perang Salib juga menyatakan, bahwa kaum Muslim adalah monster jahat yang tidak bertuhan. Membunuh makhluk semacam itu merupakan tindakan suci dan kewajiban kaum Kristen. (Killing these godless monsters was a holy act).
Di Indonesia sendiri, benturan demi benturan pemikiran telah lama digaungkan oleh orang yang mengaku intelektual, bukan saja dari kalangan non Islam, bahkan intelektual muslim pun keranjingan untuk membawa paham yang mencoba menyerang dan mengkritik orisinalitas ajaran Islam. Di tengah kampanye menghadapi pilpres pun mereka tak berhenti berkampanye mengobarkan perselisihan antara umat Islam.
Banyak pula intelektual muslim yang terjerembab ke dalam ruang rasionalismenya, sehingga melahirkan pemikiran nyeleneh hasil impor dari Barat tanpa melihat keluwesan Islam dalam masalah tersebut. Mereka berusaha membuat pergeseran paradigma ( paradigm shift) dalam berbagai teks keagamaan dengan memodifikasi ajaran agama tersebut.
Prinsip filsafat dialektika  Hegel (1831), "aku yang mengetahui terus berkembang, dan setiap tahapan yang sudah dicapai dapat disangkal oleh sesuatu yang baru. Munculnya epistemologi sekular yang dominan pada zaman modern membawa pengaruh terhadap munculnya faham-faham monoteis dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Semua ini terjadi karena teks-teks orisinal klasik mulai digali untuk dibantah dan dikritisi terlepas dari pegangan resmi yang menjadi persyaratan mutlak penggalian makna yang telah disepakati oleh ilmuwan abad permulaan.
Bertingkat-tingkatnya pemahaman manusia dalam memahami kebesaran dan ke-Esaan Tuhan menjadikan sebagian manusia mencari atau lebih tepat memaksakan diri untuk mengetahui hal-hal yang jauh diluar nalar logikanya, bukan karena ketidak logisan ajaran tersebut, tetapi karena keterbatasan manusia itu sendiri. Kondisi ini semakin diperkeruh dengan upaya pihak-pihak yang menyerap "aturan Pencipta" dengan kemampuan terbatas hasil anugerah Pencipta itu sendiri.
Pluralisme yang mengagungkan logika merupakan racun pembunuh yang memberangus agama-agama. Dengan dalih universal theology of relegion yang didukung oleh Smith (pendiri Islamic Studies di McGill) mereka sebenarnya sedang membentuk pemahaman baru bahwa tidak ada agama yang pantas dianut saat ini.
Klaim mereka terhadap kesalahan pembenaran mutlak dalam agama-agama tertentu sebenarnya kontradiktif dengan pendapat mereka. Bagaimana dalam satu kondisi mereka bisa menganggap kepercayaan orang lain dalam lingkup agama tertentu salah sementara mereka selalu membenarkan pendapat beragama menurut mereka, jadi hanya agama menurut mereka lah yang benar.
Trend Pluralisme yang dihembuskan semakin gencar saat ini adalah upaya menjauhkan manusia dari agama. Jika sekarang mereka mengatakan bahwa semua agama sama dan memiliki kebenaran masing-masing, maka bukan mustahil suatu saat nanti mereka akan mengatakan bahwa tidak ada tuhan yang harus kita sembah, karena kita semua hidup dengan keinginan pribadi tanpa ada sangkut pautnya dengan doktrin atau agama tertentu.

Leave a Reply