Senin, 16 Mei 2011

Dibalik Ideologi Pluralisme

0 komentar
Islam sebagai agama yang diakui kebabsahannya oleh Tuhan adalah agama yang tidak luruh oleh zaman. Artinya ia merupakan satu-satunya agama yang memiliki kebenaran mutlak yang diturunkan oleh Allah. Ibn Katsir (pengarang tafsir Quranul 'Adhim) ketika mengomentari surat Ali Imran 85 menyebutkan," Allah swt mengabarkan bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi-Nya selain agama Islam, dengan mengikuti para rasul dalam pengutusannya pada setiap masa, sampai ditutup oleh Nabi dan Rasul yang akhir Muhammad saw. Kemudian Allah menutup seluruh jalan kepada-Nya kecuali dari sisi Muhammad saw. Dengan begitu, siapa pun yang bertemu dengan Allah setelah diutusnya Muhammad saw dengan beragama selain syariat yang beliau bawa dan ajarkan, maka tidak diterima agama tersebut darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/19, Maktabah Taufiqiyah)
Ketika Nabi Muhammad datang dan dinobatkan sebagai nabi, maka ketika itu hilang pula pengaruh agama terdahulu yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Dalam artian, semua manusia yang dulunya menganut keyakinan berdasarkan pengajaran nabinya terdahulu maka harus merubah keyakinanya. Perubahan keyakinan yang penulis maksud di sini hanya perubahan bentuk syariat, itupun tidak secara menyuluruh.
Dengan demikian, orang yang beragama selain agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad, mereka inilah yang dikatakan orang kafir (diluar Islam) dan mereka pula yang terkena konsekuensi hukum karena menentang perintah Allah.(Abdurrahman bin Hammad, 1420 H) Karena percaya kepada nabi Muhammad pada hakikatnya adalah mengikuti ajaran nabi terdahulu. Karena utusan sebelum Rasulullah telah diberitahu akan kedatangan sang Nabi penutup; hal ini pula yang mendasari kenapa para ahl kitab mengetahui ciri ciri nabi dan membuat mereka beriman.
Penulis tidak berapa yakin bahwa referensi yang berusaha penulis ajukan di atas mendapat respon positif dari penganut paham pluralisme. Karena terhadap nash (teks) berbentuk Qath'iy dilalah (absolutly) yang terdapat di dalam Alquran saja mereka berani melanggar, konon lagi dengan teks dhanny ataupun pendapat ulama yang terpercaya sekalipun.
Pluralisme Agama hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dari pada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini. Ambil saja sebagai contoh Islam dan kristianitas. Pluralisme mengusulkan agar masing-masing saling menerima karena masing-masing tidak lebih dari ungkapan religiositas manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim kepenuhan kebenaran tidak masuk akal. Namun yang nyata-nyata dituntut kaum pluralis adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam al-Qur’an memberi petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia selamat, dengan sekaligus membatalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya.
Kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran (self-inconsistent) karena menafikan kebenaran ekslusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim "paling benar sendiri" dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang terjebak untuk menyebut dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement)
Namun jika pluralisme yang dimaksud adalah toleransi, maka saya yakin agama Islam adalah agama yang paling plural. Karena Islam sendiri erat kaitannya dengan toleransi. Dalam Al-Quran sendiri Allah  berulang kali baik secara jelas maupun eksplisit menyebutkan bahwa Islam bukan agama yang anarkis, karena prinsip saling menghargai, tidak memaksa dalam dakwah juga merupakan prinsip dasar dalam Islam. Namun bukan karena alasan toleransi agama lain menjadi agama yang benar.
Toleransi yang dianjurkan adalah menghargai keyakinan agama lain dengan tidak menganggu gugat peribadatan mereka. Dapat kita bayangkan sejauh mana nabi Muhammad mampu bertoleransi terhadap non-muslim ketika itu sehingga toleransi sendiri menjadi metode dakwah yang membuat banyak orang simpati dan tertarik untuk masuk Islam. Namun jika sekarang banyak teori yang coba mangaitkan toleransi dengan peleburan akidah, maka ini sungguh jauh dari pemaknaan toleransi yang jama' kita ketahui dalam Islam.
Saat ini yang timbul justeru upaya menuju keseragaman (uniformity) atau menyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama. Dan ini bertentangan dengan sunnatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Hal ini dikarenakan, perbedaan suku, ras dan agama adalah kodrat/fitrah dan memiliki hikmah yang dapat kita jangkau atau tersembunyi.
Perkembangan ilmu saat ini menunjukkan sebuah konsep berupa akal sebagai sumber ilmu yang merupakan hasil dari kebingungan dan skeptisme. Di lain pihak, fungsi Al-Quran dan Hadits (wahyu) telah dilenyapkan. Alhasil, paham seperti ini telah berhasil menceraikan hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan. Dengan metode keraguan (relativitas) mereka dengan beraninya menggugat teori ilmiah yang telah ada, hal ini diperkuat dengan spekulasi filosofus yang terkait dengan kehidupan sekular yang membuat ilmu, etika, moral, keagamaan berada dalam lingkup rasio seseorang dan bisa terus berubah.
Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memiliki pandangan-hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak (Naquib Al-Attas, 1993)
Alangkah baiknya jika saat ini kita kembali kepada framework tradisi keilmuan dalam Islam yang telah menghasilkan kelompok ilmuan (ulama) yang berusaha tafaqquh fi ad-din (mendalami agama) yang berobyek kepada wahyu dengan pemahaman luas dan kompleks. Dalil naqli (nash) yang merupakan sumber orisinal tentang Islam tidak bisa dibanding bandingkan dengan akal. Karena lawan dari akal adalah gila bukan naql. Jadi akal hanya berfungsi untuk memahami teks yang telah ada, tidak berada sebagai sumber terpisah dan tidak pula sederajat dengan wahyu. Wallahu a'lam.

Leave a Reply